Universitas Gunadarma
Dosen : Ahmad Nasher
Pandangan Islam Terhadap IPTEK
Peradaban
Barat modern dan
postmodern saat ini memang memperlihatkan kemajuan dan kebaikan kesejahteraan
material yang seolah menjanjikan kebahagian hidup bagi umat manusia. Namun karena kemajuan tersebut tidak seimbang, pincang, lebih mementingkan kesejahteraan
material bagi sebagian individu dan sekelompok tertentu negara-negara maju (kelompok G-8)
saja dengan mengabaikan, bahkan menindas hak-hak dan merampas kekayaan alam negara lain
dan
orang lain yang lebih lemah kekuatan iptek, ekonomi dan militernya, maka kemajuan di
Barat melahirkan penderitaan kolonialisme-imperialisme (penjajahan) di Dunia Timur
& Selatan. Kemajuan Iptek di
Barat, yang didominasi oleh pandangan dunia dan paradigma sains (Iptek)
yang positivistik-empirik sebagai anak kandung filsafat-ideologi materialisme-sekuler, pada akhirnya juga
telah melahirkan penderitaan dan ketidakbahagiaan psikologis/ruhaniah pada banyak manusia baik di
Barat maupun di Timur.
Negara-negara yang
berpenduduk mayoritas
Muslim, saat ini pada umumnya adalah negara-negara berkembang atau negara terkebelakang,
yang lemah secara ekonomi dan juga
lemah atau tidak menguasai perkembangan ilmu pengetahuan dan sains-teknologi. Karena nyatanya saudara-saudara
Muslim kita itu banyak yang
masih bodoh dan lemah, maka mereka kehilangan harga diri dan kepercayaan dirinya. Beberapa di antara mereka kemudian menjadi hamba budaya dan pengikut buta kepentingan negara-negara
Barat. Mereka menyerap begitu saja nilai-nilai, ideologi dan budaya materialis dan sekular
(anti Tuhan)
yang dicekokkan melalui kemajuan teknologi informasi dan
media komunikasi
Barat. Akibatnya krisis-krisis sosial-moral
dan kejiwaan pun menular kepada sebagian besar bangsa-bangsa
Muslim.
Kenyataan memprihatikan ini sangat ironis. Umat
Islam yang mewarisi ajaran suci Ilahiah dan peradaban dan Iptek
Islam yang jaya di
masa lalu, justru kini terpuruk di negerinya sendiri,
yang sebenarnya kaya
sumber daya alamnya, namun miskin kualitas sumberdaya manusianya (pendidikan dan Ipteknya). Ketidakadilan
global ini terlihat dari fakta bahwa 80% kekayaan dunia hanya dikuasai oleh 20 %
penduduk kaya
di negara-negara maju. Sementara 80% penduduk dunia di negara-negara miskin hanya memperebutkan remah-remah sisa makanan pesta pora bangsa-bangsa negara maju. Ironis bahwa
Indonesia yang sangat kaya dengan sumber daya alam minyak dan gas bumi, justru mengalami krisis dan kelangkaan BBM.
Ironis bahwa di tengah keberlimpahan hasil produksi gunung emas-perak dan tembaga serta kayu hasil hutan yang
ada di
Indonesia, kita justru mengalami kesulitan dan krisis ekonomi, kelaparan, busung lapar, dan berbagai penyakit akibat kemiskinan rakyat. Kemana harta kekayaan kita yang
Allah berikan kepada tanah air dan bangsa
Indonesia ini? Mengapa kita menjadi negara penghutang terbesar dan terkorup di dunia? Kenyataan menyedihkan tersebut sudah selayaknya menjadi cambuk bagi kita bangsa
Indonesia yang mayoritas
Muslim untuk gigih memperjuangkan kemandirian politik, ekonomi dan
moral bangsa dan umat. Kemandirian itu tidak bisa lain
kecuali dengan pembinaan
mental-karakter dan
moral (akhlak) bangsa-bangsa
Islam sekaligus menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi yang
dilandasi keimanan-taqwa kepada
Allah swt.
Serta melawan pengaruh buruk budaya sampah dari
Barat yang Sekular, Matre dan hedonis (mempertuhankan kenikmatan hawa nafsu). Akhlak yang
baik muncul dari keimanan dan ketaqwaan kepada
Allah swt Sumber segala Kebaikan, Keindahan dan Kemuliaan. Keimanan dan ketaqwaan kepada
Allah swt hanya akan muncul bila diawali dengan pemahaman ilmu pengetahuan dan pengenalan terhadap Tuhan
Allah swt dan terhadap alam semesta sebagai tajaliyat (manifestasi) sifat-sifat KeMahaMuliaan, Kekuasaan dan Keagungan-Nya.
Islam, sebagai
agama penyempurna dan paripurna bagi kemanusiaan, sangat mendorong dan mementingkan umatnya untuk mempelajari, mengamati, memahami dan merenungkan segala kejadian di alam semesta. Dengan kata
lain Islam sangat mementingkan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Kekuatan IPTEK
Di negara ini, gagasan tentang perlunya integrasi pendidikan imtak dan iptek ini sudah lama
digulirkan. Profesor B.J.
Habibie, adalah
orang pertama yang
menggagas integrasi imtak dan iptek ini. Hal
ini, selain karena adanya
problem dikotomi antara apa yang
dinamakan ilmu-ilmu umum (sains) dan ilmu-ilmu
agama (Islam), juga disebabkan oleh adanya kenyataan bahwa pengembangan iptek dalam sistem pendidikan kita tampaknya berjalan sendiri, tanpa dukungan asas iman dan takwa yang
kuat, sehingga pengembangan dan kemajuan iptek tidak memiliki nilai tambah dan tidak memberikan manfaat yang
cukup berarti bagi kemajuan dan kemaslahatan umat dan bangsa dalam arti yang
seluas-luasnya.
Kekhwatiran ini, cukup beralasan, karena sejauh ini sistem pendidikan kita tidak cukup mampu menghasilkan manusia
Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada
Allah swt sebagaimana diharapkan. Berbagai tindak kejahatan sering terjadi dan banyak dilakukan justru oleh
orang-orang yang secara akademik sangat terpelajar, bahkan mumpuni. Ini berarti, aspek pendidikan turut menyumbang dan memberikan saham bagi kebangkrutan bangsa yang
kita rasakan sekarang. Kenyataan ini menjadi salah satu catatan mengenai raport merah pendidikan nasional kita.
Secara lebih spesifik, integrasi pendidikan imtak dan iptek ini diperlukan karena empat alasan.
Pertama, sebagaimana telah dikemukakan, iptek akan memberikan berkah dan manfaat yang
sangat besar bagi kesejahteraan hidup umat manusia bila iptek disertai oleh asas iman dan takwa kepada
Allah swt. Sebaliknya, tanpa asas imtak, iptek bisa disalahgunakan pada tujuan-tujuan yang
bersifat destruktif. Iptek dapat mengancam nilai-nilai kemanusiaan. Jika demikian, iptek hanya absah secara metodologis, tetapi batil dan miskin secara maknawi. (6)
Kedua, pada kenyataannya, iptek yang
menjadi dasar modernisme, telah menimbulkan pola dan gaya hidup baru yang
bersifat sekularistik, materialistik, dan hedonistik,
yang sangat berlawanan dengan nilai-nilai budaya dan
agama yang dianut oleh bangsa kita. (7)
Ketiga, dalam hidupnya, manusia tidak hanya memerlukan sepotong roti
(kebutuhan jasmani), tetapi juga
membutuhkan imtak dan nilai-nilai sorgawi (kebutuhan
spiritual). Oleh karena itu, penekanan pada salah satunya, hanya akan menyebabkan kehidupan menjadi pincang dan berat sebelah, dan menyalahi hikmat kebijaksanaan Tuhan yang
telah menciptakan manusia dalam kesatuan jiwa
raga, lahir dan bathin, dunia dan akhirat. (8)
Keempat, imtak menjadi landasan dan dasar
paling kuat yang
akan mengantar manusia menggapai kebahagiaan hidup. Tanpa dasar imtak, segala atribut duniawi, seperti harta, pangkat, iptek, dan keturunan, tidak akan mampu
alias gagal mengantar manusia meraih kebahagiaan. Kemajuan dalam semua itu, tanpa iman dan upaya mencari ridha Tuhan, hanya akan mengahsilkan fatamorgana yang
tidak menjanjikan apa-apa selain bayangan palsu
(Q.S. An-Nur:39). Maka integrasi imtak dan iptek harus diupayakan dalam
format yang tepat sehingga keduanya berjalan seimbang
(hand in hand) dan dapat mengantar kita meraih kebaikan dunia (hasanah fi
al-Dunya) dan kebaikan akhirat (hasanah fi
al-akhirah) seperti do’a yang
setiap saat kita panjatkan kepada Tuhan
(Q.S. Al-Baqarah
:201).
Menuju Integrasi Imtaq dan IPTEK
Untuk membangun sistem pendidikan yang
mengintegrasikan pendidikan imtak dan iptek dalam sistem pendidikan nasional kita, kita harus melihat kembali aspek-aspek pendidikan kita, terutama berkaitan dengan empat hal berikut ini, yaitu:
1. Filsafat dan orientasi pendidikan (termasuk di dalamnya filsafat manusia)
2. Tujuan Pendidikan
3. Filsafat ilmu pengetahuan (Epistemologi) dan
4. Pendekatan dan metode pembelajaran.
Dalam filsafat pendidikan konvensional, pendidikan dipahami sebagai
proses mengalihkan kebudayaan dari satu generasi ke generasi
lain. Filsafat pendidikan semacam ini mengandung banyak kelemahan. Selain dapat timbul degradasi (penurunan kualitas pendidikan) setiap saat, pendidikan cenderung dipahami sebagai
transfer of knowledge semata dengan hanya menyentuh satu aspek saja, aspek kognitif dan kecerdasan intelektual (IQ)
semata dengan mengabaikan kecerdasan emosi (EQ)
dan kecerdasan
spiritual (SQ) peserta didik. Dengan filosofi seperti itu, peserta didik sering diperlakukan sebagai makhluk tidak berkesadaran. Akibatnya, pendidikan tidak berhasil melaksanakan fungsi dasarnya sebagai wahana pemberdayaan manusia dan peningkatan harkat dan martabat manusia dalam arti yang
sebenar-benarnya.
Penyikapan Terhadap Perkembangan IPTEK
Setiap manusia diberikan hidayah dari
Allah swt berupa “alat” untuk mencapai dan membuka kebenaran. Hidayah tersebut adalah (1) indera, untuk menangkap kebenaran fisik, (2)
naluri, untuk mempertahankan hidup dan kelangsungan hidup manusia secara probadi maupun sosial, (3)
pikiran dan atau kemampuan rasional yang
mampu mengembangkan kemampuan tiga jenis pengetahuan akali (pengetahuan biasa, ilmiah dan filsafi).
Akal juga merupakan penghantar untuk menuju kebenaran tertinggi, (4)
imajinasi, daya khayal yang
mampu menghasilkan kreativitas dan menyempurnakan pengetahuannya, (5)
hati nurani, suatu kemampuan manusia untuk dapat menangkap kebenaran tingkah laku manusia sebagai makhluk yang
harus bermoral.
Dalam menghadapi perkembangan budaya manusia dengan perkembangan
IPTEK yang sangat pesat, dirasakan perlunya mencari keterkaitan antara sistem nilai dan norma-norma
Islam dengan perkembangan tersebut. Menurut
Mehdi Ghulsyani
(1995), dalam menghadapi perkembangan
IPTEK ilmuwan muslim dapat dikelompokkan dalam tiga kelompok; (1)
Kelompok yang
menganggap
IPTEK moderen bersifat netral dan berusaha melegitimasi hasil-hasil
IPTEK moderen dengan mencari ayat-ayat
Al-Quran yang sesuai; (2) Kelompok yang
bekerja dengan
IPTEK moderen, tetapi berusaha juga
mempelajari sejarah dan filsafat ilmu agar
dapat menyaring elemen-elemen yang
tidak islami, (3)
Kelompok yang
percaya adanya
IPTEK Islam dan berusaha membangunnya. Untuk kelompok ketiga ini memunculkan nama Al-Faruqi yang
mengintrodusir istilah “islamisasi ilmu pengetahuan”. Dalam konsep
Islam pada dasarnya tidak ada pemisahan yang
tegas antara ilmu
agama dan ilmu
non-agama. Sebab pada dasarnya ilmu pengetahuan yang
dikembangkan manusia merupakan “jalan” untuk menemukan kebenaran
Allah itu sendiri. Sehingga
IPTEK menurut
Islam haruslah bermakna ibadah.
Yang dikembangkan dalam budaya
Islam adalah bentuk-bentuk
IPTEK yang mampu mengantarkan manusia meningkatkan derajat spiritialitas, martabat manusia secara alamiah. Bukan
IPTEK yang merusak alam semesta, bahkan membawa manusia ketingkat yang
lebih rendah martabatnya.
Dari uraian di atas “hakekat” penyikapan
IPTEK dalam kehidupan sehari-hari yang
islami adalah memanfaatkan perkembangan
IPTEK untuk meningkatkan martabat manusia dan meningkatkan kualitas ibadah kepada
Allah swt. Kebenaran
IPTEK menurut
Islam adalah sebanding dengan kemanfaatannya
IPTEK itu sendiri.
IPTEK akan bermanfaat apabila (1) mendekatkan pada kebenaran
Allah dan bukan menjauhkannya, (2)
dapat membantu umat merealisasikan tujuan-tujuannya
(yang baik),
(3) dapat memberikan pedoman bagi sesama, (4)
dapat menyelesaikan persoalan umat. Dalam konsep
Islam sesuatu hal dapat dikatakan mengandung kebenaran apabila ia mengandung manfaat dalam arti luas.
Kesimpulan
Ilmu pengetahuan harusnya menjadikan kita lebih mendekatkan diri pada sang
pencipta, bukan menjauhi. Dan
umat
Islam harus bisa menyesuaikan diri dengan perkembangan
IPTEK modern agar tidak ketinggalan pengetahuan, karena dari kemajuan
IPTEK masyarakat dapat mengetahui informasi dengan cepat meskipun informasi yang
diterima haruslah disaring dan dipastikan itu adalah informasi yang
benar bukan dibuat-buat. Umat
Muslim haruslah dapat memilah mana
informasi yang
bermanfaat yang
memiliki faedah sehingga berguna untuk
orang lain. Mencari Ilmu adalah sebuah kewajiban yang
telah ditetapkan kepada manusia semenjak lahir sampai meninggal. Bahkan
Allah akan mengangkat derajat
orang orang yang
berilmu. Dan
jika mencari ilmu diniatkan untuk ibadah maka akan bernilai pahala yang
lebih besar. Wallahualam.
Sumber
www.google.com
http://ekanurseptini.blogspot.co.id/2013/02/agama-dan-iptek-merupakan-satu-kesatuan.html